Sabtu, 19 Maret 2016

Untukmu yang kini seperti hujan

Kamu seperti hujan. Datang dengan sejuta kesejukan namun terasa sangat dingin. Kamu adalah lelaki yang berbeda yang kemarin aku ceritakan. Kamu seperti asa yang tak bisa aku definisikan. Kamu tak pernah bisa aku tebak dengan sejuta logika yang ada.

Maaf jika aku tak pernah melihat ke arahmu sebelumnya, hingga kini kamu yang tak melihat ke arahku. Bodoh? Memang aku sangat bodoh. Tak pernah melihat seseorang yang berjuang karena dulu aku sedang buta hingga kini mati rasa. Tapi itu semua membuatku berpikir bahwa dulu aku memiliki seseorang yang amat peduli kepadaku, tulus, dan begitu sabar.

Sepertinya sungguh sangat terlambat bila aku baru menyadari bahwa kamu memang ada di sana, sempat menanti dan berharap, tapi aku tak pernah menggubrismu. Kamu kini menjadi sebuah semangat baru walau kini kamu tak pernah tergapai dan mengabaikanku. Setidaknya aku merasakan apa yang kamu rasakan dulu.

Kita impas bukan sekarang? Kamu pernah tersakiti dan kini aku merasakan sakit dan pengabaian yang pernah aku berikan padamu. Ya kita impas. Namun sungguh, ini sangat menyiksaku. Bahkan kamu tak pernah tahu bahwa aku berusaha mencari kabar tentangmu sebisaku. Mencoba menghubungimu dan meminta maaf padamu, lalu kamu berkata tidak apa-apa dilanjutkan dengan berkata accountmu sudah lama tidak di aktifkan.

Aku sempat lega mendengarmu bicara seperti itu, tapi, ketika aku bertanya padamu dan berkali kali mencoba menghubungimu, semua hasilnya adalah nihil. Kamu bahkan sama sekali tak pernah membacanya. Bodohnya lagi aku bahkan hampir setiap hari mengirimimu pesan dan chat bahkan pernah dengan nekatnya aku menelponmu.

Gila. Itu sungguh tindakan gila yang jelas jelas takan pernah digubris olehmu tetapi masih saja aku melakukan itu. Bodoh. Memang aku sangat bodoh melakukan semua hal tersebut. Aku seperti orang yang sedang frustasi. Memangnya aku bisa apa? Untuk sekedar mendapat balasan atas pesan yang aku kirim saja sulit apalagi mendapatkan maaf dan kembali berteman denganmu.

Kuharap kamu kembali menjadi matahari yang menghangatkan dan tak pernah pergi. Aku berharap kamu tak pernah menjadi hujan yang dingin dan tak tahu kapan kembali setelah ia pergi. Aku tak ingin kamu seperti hujan yang membawa sejuta kenangan luka ke dalam diri.

Tetaplah menjadi matahari yang aku nanti. Walau kamu tak lagi terbit untukku.

-Pay.
Cigombong. 19032016. 1.41

Rabu, 16 Maret 2016

Kamu tak pernah benar-benar pulang.

Kamu pernah menjadi bagian dalam hidupku, menuliskan cerita didalamnya, mewarnai hariku dengan candamu. Kita pernah bersama, berjalan seirama, seakan memiliki tujuan yang sama. Tapi, itu hanya cerita dulu dari rangkaian masalalu, dan tak pernah terbayang dalam benakku bahwa kamu tak lagi disisiku.

Entah bodoh atau rindu aku tak tahu, mengapa aku menulis tentangmu. Sejak setahun lalu aku tak lagi menulis sesuatu hal tentangmu. Tapi kini, ada hasrat yang membuatku ingin kembali menulis tentangmu, sosokmu yang bahkan hingga hari ini masih menghiasi hariku. Kamu bahkan tak pernah tahu bahwa aku selalu berdiri di belakangmu, berharap kamu menoleh ke arahku, yang pada kenyataannya kamu tak akan pernah melakukan itu.

Sedih? Pasti. Kesal? Iya. Mengapa kamu tak pernah berbalik bahkan hanya untuk sedetik? Padahal kamu tahu ada aku di belakangmu. Kamu selalu menyadari itu, kamu bahkan menoleh lalu tersenyum padaku, tapi kamu tak pernah lagi berjalan ke arahku berbalik dan memelukku. Rasanya bodoh mengetahui bahwa aku tetap berdiri padahal tahu kamu takkan kembali.

Menyedihkan ya menjadi diriku? Memang. Rasanya aku mati rasa karena mu. Kamu yang dulu menyayangiku tiba-tiba saja tanpa kata, tanpa alasan yang jelas pergi meninggalkanku. Rasanya seperti ditusuk oleh belati tepat mengenai ulu hati, seperti mati. Kamu membuatku terus berdiri sementara kamu terus berlari. Tak memberiku penjelasan atas kepergihanmu dan kau tak pernah benar benar berlari pergi dariku.

Langkah kakimu seakan hanya berputar disekitarku, tak pernah benar benar meninggalkanku. Bahkan tadi pagi kamu duduk disampingku, tersenyum, dan bercanda denganku. Ingin rasanya aku teriak, berhenti!! Pergi!! Belum cukupkah kamu meninggalkanku dan menusukkan belati padaku bertahun-tahun lalu, kini kamu kembali dihadapanku, menaburkan garam pada luka yang hampir sembuh? Luka yang dulu kamu buat untukku. Membukanya perlahan, agar aku kembali merasakan perihnya?

Aku tak mengerti mengapa aku tak bisa benar-benar membencimu setelah apa yang telah kamu lakukan kepadaku, aku tak pernah tahu mengapa kamu selalu punya tempat dalam hatiku. Kamu selalu bercerita semua tentangmu seakan aku adalah rumah, tapi kamu tak benar-benar pulang.

Sampai kapan kamu akan terus membuatku begini? Terombang ambing dalam perasaan yang aku sendiri tak pernah tahu rasa apa yang sedang aku rasakan.


 -Pay.
Cigombong. 16032016. 3.07.